MENGAPA ELEKTABILITAS PARPOL BERBASIS AGAMA RENDAH?

By: Gloria Wilhelmina Verdina

Hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh Lembaga Survey Nasional (LSN) menunjukkan rendahnya tingkat elektabilitas partai-partai politik yang berbasis massa Islam. Faktor penyebabnya meliputi faktor eksternal dan internal. Dari segi eksternal, walaupun masyarakat Indonesia tampak semakin religius tapi tidak serta membuat mereka kian tertarik pada ideologi parpol Islam yang berujung pada menurunnya elektabilitas parpol maupun politisi Islam. Sementara faktor internalnya adalah krisis identitas di kalangan parpol dan politisi Islam. Ditambahkan oleh Direktur Eksekutif LSN, Umar S. Bakry, perilaku partai dan politisi Islam dinilai cenderung pragmatis sehingga tidak mencerminkan nilai-nilai politik Islam. Partai Islam dan politisi Islam juga dianggap tidak memberikan manfaat bagi umat Islam itu sendiri.2

Hal yang saya temukan disini adalah kesenjangan antara ekspektasi masyarakat khususnya masyarakat muslim dengan kenyataan di lapangan. Saya teringat saat menghadiri acara talkshow yang membahas mengenai partisipasi pemuda muslim di Asia Tenggara dalam sebuah acara televisi swasta, Lembaga Survey Indonesia dalam laporannya yang tercantum dalam “Tata Nilai Impian Cita-cita Pemuda Muslim di Asia Tenggara, Survei Indonesia dan Malaysia”Juni 2011 lalu menyatakan bahwa 49% kalangan muda muslim Indonesia tidak menganggap bahwa pemimpin agama harus menggantikan peran para politikus. Hal ini ditengarai oleh pandangan mereka tentang politik yang praktis sebagai wilayah abu-abu, tidak selamanya baik, dan cenderung kotor. Pemikiran semacam ini keluar dari sebagian besar responden yang merupakan penduduk kota yang relatif lebih tua, lebih berpendidikan dan berpenghasilan menengah ke atas. Yang terjadi adalah, semakin tinggi informasi yang diterima oleh responden, semakin kritis dan realistis cara pandang mereka tentang politik. Oleh karena itulah, di mata responden yang memiliki akses informasi yang lebih banyak dan bervariasi, tokoh agama yang mereka harapkan menjadi panutan moral, sebaiknya tidak terjun ke politik praktis. Responden menganggap bahwa hal tersebut dapat mengurangi aspek keteladanan mereka manakala mereka terkena sisi negatif politik.3

Persepsi seperti ini sangat baik karena para pemuda muslim menganggap bahwa tokoh agama masih memenuhi perannya sebagai tokoh panutan masyarakat. Yang kurang baik adalah rasa ketakutan yang sangat kuat bahwa peran tokoh agama bisa berubah dengan gampangnya saat terjun ke dunia politik yang dianggap negatif. Oleh karena itu, pandangan bahwa dunia politik itu cenderung negatif haruslah diluruskan terlebih dahulu. Politik menurut Aristoteles adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Jadi masalah politik adalah masalah bersama sehingga jika hal itu dianggap sebagai sesuatu yang negatif, yang harus dijauhi, maka permasalahan bersama ini tidak akan pernah tuntas yang tidak menutup kemungkinan akan berakhir pada kehancuran sebuah negara.

Jadi, kurang tepat jika tokoh agama dilindungi dan dihimbau untuk tidak ikut serta dalam kancah politik. Biarkan saja dan dukung jika memang program yang diusung mewakili kepentingan masyarakat luas yang berdasar pada Pancasila. Yang harus dilakukan adalah mengawasi secara ketat dan ikut terlibat aktif dalam politik untuk menyelesaikan permasalahan bersama di Indonesia ini.

Referensi:
2 Detiknews.com, Selasa 26 Juni 2012.
3 Lembaga Survey Indonesia, Pemuda Muslim Di Asia Tenggara – Survei di Indonesia dan Malaysia, Juni 2011.